Bandung punya banyak wajah. Ada yang mengenalnya sebagai kota mode, kota kuliner, atau kota pendidikan. Tapi malam itu, Selasa 9 Juli 2024, di sebuah bukit yang tidak terlalu jauh dari hirukpikuk kota, Bandung menampilkan wajah lain: kota puisi.
Kedai Dermaga, berdiri di antara rimbun pepohonan di Gang Mars Dirgahayu, Jalan Awiligar Raya. Tempat ini bukan sekadar kedai biasa. Perlahan, ia telah menjelma menjadi titik api yang membakar semangat berkesenian anak-anak muda Bandung. Dan malam itu, api itu menyala lebih terang dari biasanya.
"Dermaga Berpuisi," begitu acara itu dinamai. Volume pertama dari apa yang dijanjikan akan menjadi sebuah seri panjang. Beni Anwar, sang inisiator, berdiri di sudut ruangan. Matanya menyapu kerumunan yang mulai terbentuk. Ada senyum tipis di bibirnya, seolah puas melihat benihnya mulai bertunas.
Desi Fitriani, atau yang akrab disapa Dedes, naik ke panggung sebagai pembawa acara. Ketua Himpunan Bahasa & Sastra Indonesia UPI ini membuka acara dengan suara yang jernih dan tegas. Satu demi satu, sembilan penyair terpilih naik ke panggung. Masgal, Bagea Praceka Sugema, Masud Nur, Putra Aco, Aziz Mar'up, Kacunk, Beni Anwar, Hasrirend, dan Dira alias Rubah Merah. Mereka membawa "Kota dan Kita" dalam bait-bait puisi mereka.
Di tangan para penonton, sebuah zine tipis berpindah tangan. Lima belas ribu rupiah, harga sebuah impian yang dicetak di atas kertas. Zine itu, kata mereka, akan menjadi cikal bakal sebuah antologi bersama ketika Dermaga Berpuisi mencapai volume kesepuluh. Sebuah arsip skena sastra Bandung yang hidup dan bernapas.
Ovick Salavski dan Obex Lana membawakan orasi budaya yang menggugah. Suara mereka bergema, menantang status quo, mengajak para pendengar untuk memikirkan kembali arti kebudayaan di tengah arus modernitas.
Lalu datang Jinggo, alterego musikal MH Dutama. Petikan gitar dan beat looper-nya menggema di udara, menciptakan melodi yang puitik dan eksperimental. Disusul Antakara, yang menyuarakan api perlawanan dalam setiap bait sajak dan lagunya. Mereka menyuarakan isu-isu sosial yang selama ini hanya menjadi bisikan-bisikan di sudut kota.
Kidung Saujana, seorang novelis dan musisi, turut membacakan puisinya dengan khidmat. Taos, dengan gaya khasnya yang ikonik, membuat penonton terpukau. Di tengah acara, duo podcaster kondang Imam Maldy muncul, membacakan kata pengantar kuratorial dari Fajar M. Fitrah dengan gaya yang unik dan sedikit ironik.
Untung Wardojo, salah satu sesepuh perpuisian Bandung, membacakan puisinya dengan tenang. Ada hikmat dalam setiap kata yang terucap, seolah memberkati generasi baru yang hadir di hadapannya.
Di sudut ruangan, anggota Nusa Layaran dan Manjing Manjang - komunitas yang konsisten dalam perjuangan literasi, lingkungan, dan kemanusiaan - mengangguk-angguk puas. Mereka melihat apa yang selama ini mereka perjuangkan mulai terwujud: sebuah ruang inklusif bagi sastra, yang melampaui batas-batas komunitas, universitas, bahkan generasi.
Malam semakin larut, tapi semangat tak kunjung surut. Para penyair yang tak terpilih pun diberi kesempatan untuk membacakan karyanya. Tak ada rasa iri, yang ada hanya apresiasi dan semangat kebersamaan.
Ketika acara usai dan para pengunjung mulai beranjak pulang, Kedai Dermaga masih berdiri kokoh. Ia telah menjadi saksi bisu lahirnya sebuah gerakan. Sebuah dermaga tempat berlabuhnya kata-kata, tempat bertemunya mimpi-mimpi yang selama ini terserak. Dan Bandung, kota yang tak pernah lelah bercerita, kini punya satu kisah baru untuk dituturkan.