Lampu-lampu Kedai Dermaga berkedip lembut, membelai malam yang semakin larut. Di sudut kedai yang ramai, dua sosok familiar - Imam dan Maldi - duduk santai, gelas kopi di tangan. Asap rokok melayang. Sesekali tawa mereka memecah keheningan, mengundang tatapan penasaran pengunjung lain.
"Jadi podcaster itu nggak pernah ada di mimpi kita," Imam membuka percakapan, senyum lebar menghiasi wajahnya. Maldi mengangguk setuju, "Kita cuma dua orang yang kebetulan suka ngobrol panjang lebar."
Keduanya kemudian bercerita bagaimana Kedai Dermaga menjadi saksi bisu lahirnya ide-ide gila mereka. "Di sini tempat kita muntahin semua uneg-uneg," canda Maldi. "Eh, tau-tau ada yang mau dengerin muntahan kita."
Meski terkesan santai, ada prinsip kuat yang mereka pegang. "Yang penting kita happy dulu," tegas Imam. "Kalau kita enjoy, pendengar juga bakal ngerasain energi positifnya."
Perbedaan usia 5 tahun menjadi bumbu penyedap obrolan mereka. "Ada gap generasi yang justru bikin obrolan makin seru," jelas Maldi. "Apa yang lagi hype di gue, udah lewat di Imam. Begitu juga sebaliknya."
Tantangan teknis menjadi momok tersendiri bagi duo yang mengaku "belegug Bandung" dalam urusan gadget ini. Namun, justru keterbatasan itu yang membuat mereka fokus pada esensi - menghibur dan berbagi perspektif.
"Kita nggak pernah ngejar pasar," Imam menegaskan. "Malah kadang kita yang menciptakan pasarnya sendiri." Maldi menambahkan, "Yang penting konsisten. Udah hampir setahun kita rutin Senin-Kamis, bukan puasa ya." Keduanya tertawa lepas.
Meski tak secara langsung melibatkan audiens dalam pemilihan topik, mereka tetap peka terhadap isu viral. "Kita lihat apa yang lagi rame, tapi tetep dari kacamata kita," jelas Maldi. "Jadi nggak kehilangan ciri khas."
Saat ditanya soal konten sensitif, Imam mengungkap, "Biasanya kita diskusi dulu malem sebelumnya. Sleep call gitu lah." Maldi menimpali, "Tapi tetep aja, pas rekaman bisa melenceng kemana-mana."
Seiring malam semakin dingin, obrolan mereka makin dalam. Dari politik hingga gosip selebriti, tak ada topik yang luput dari bahasan. Sesekali mereka berdebat, namun lebih sering tertawa bersama.
"Mungkin ini yang bikin podcast kita bertahan," Imam merenungkan. "Kita berdua beda, tapi saling melengkapi."
Maldi mengangguk setuju. "Yang penting kita tetep jadi diri sendiri. Nggak usah sok-sokan jadi orang lain."
Dering handphone panggilan dari istri Maldy, menandakan waktu sudah tengah malam. Kedai Dermaga mulai sepi, namun mereka malah masih asyik berdiskusi. Mungkin besok, percakapan malam ini akan menjadi episode baru yang menghibur ribuan pendengar setia mereka.
Saat beranjak pulang, keduanya sepakat: podcast bukan hanya tentang berbicara, tapi juga mendengarkan. Bukan sekadar menghibur, tapi juga menginspirasi. Dan di atas segalanya, tetap menjadi diri sendiri - apa adanya, tanpa pretensi.
Di bawah temaram lampu jalan, Imam dan Maldi melangkah pulang. Besok, mereka akan kembali ke balik mikrofon, membagikan tawa dan perspektif unik mereka kepada dunia. Satu episode kelar, seribu ide baru menanti untuk dieksplorasi.